Al Hajjaj bin Yusuf.....
aldafla.com
Al Hajjaj
bin Yusuf Ats Tsaqafi adalah salah seorang gubernur di Baghdad di bawah
pemerintahan Khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik bin Marwan. Seorang yang
zhalim, banyak membunuh, dan fasiq. Walaupun demikian, beliau turut memiliki
jasa dan kebaikan. Memiliki sumbangan dalam meletakkan baris bacaan Al Qur’an,
membantu banyak usaha meluaskan kerajaan Bani Umayyah. Beliau juga termasuk
tokoh yang ahli dalam strategi peperangan. Ia berasal dari kabilah Tsaqif.
Kata Imam
Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah (Wafat: 748H) mengenai Al Hajjaj bin
Yusuf Ats Tsaqafi:
“Al
Hajjaj, Allah memusnahkannya di bulan Ramadhan tahun 95 Hijrah dalam keadaan
tua, dan beliau adalah seorang yang zhalim, bengis, naashibi (pembenci Ahlul Bait),
keji, suka menumpahkan darah, memiliki keberanian, kelancangan, tipu daya, dan
kelicikan, kefasihan, ahli bahasa, dan kecintaan terhadap Al Quran. Aku (Imam
Adz Dzahabi) telah menulis tentang sejarah hidupnya yang buruk dalam kitabku At Tarikh Al Kabir, mengenai pengepungannya
terhadap Ibnu Az Zubair dan Ka’bah, serta perbuatannya melempar Ka’bah dengan manjaniq, penghinaannya terhadap penduduk Al Haramain (dua tanah haram),
penguasaannya terhadap ‘Iraq dan wilayah timur, semuanya selama 20 tahun. Juga
peperangannya dengan Ibnul Asy’ats, sikapnya melambat-lambat (melalaikan)
shalat sehinggalah Allah mematikannya, maka kami mencelanya, dan kami tidak
mencintainya, sebaliknya kami membencinya karena Allah.” (Siyar A’lam An
Nubala’, 4/343)
Kata Al
Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah:
“Dan
adapun sang pemusnah adalah Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsqafi ini. Beliau seorang
yang amat memusuhi, beliau amat membenci anggota keluarga ‘Ali, ini karena
kecenderungannya kepada keluarga Marwan Bani Umayyah. Beliau juga seorang yang
angkuh lagi bodoh, berani menumpahkan darah hanya karena kesalahan yang syubhah
(samar).
Diriwayatkan
dari beliau kata-kata yang sangat buruk, yang zahirnya adalah kufur,
sebagaimana yang telah kami kemukakan. Jika beliau bertaubat darinya dan
berlepas diri darinya, maka itu yang diharapkan, tetapi jika tidak, maka ia
tetap dalam keadaan tersebut. Cuma diragukan bahwa itu adalah kata-kata yang
diriwayatkan dari beliau dengan berbagai penambahan, karena golongan Syi’ah
sangat membencinya karena beberapa perkara. Jadi, mungkin terjadi mereka mengubah
sebagian perkataannya dan menambah padanya sehingga mereka melabelnya sebagai
perkataan-perkataan buruk lagi menjijikkan.”
Kata Al
Hafizh Ibnu Katsir lagi:
“Diriwayatkan
kepada kami dari beliau bahwa beliau meninggalkan hal-hal yang memabukkan, banyak
membaca Al Qur’an, menjauhi larangan-larangan, dan tidak dikenali sebagai orang
yang pernah terjerumus dalam urusan kemaluan, walaupun dia terlalu berani dalam
hal menumpahkan darah. Maka Allah Ta’ala-lah yang lebih mengetahui kebenaran
dan hakikat-hakikat segala urusan serta rahsia-rahsianya, serta hal-hal yang
tersembunyi di dalam dada.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/153)
Dalam
Sunan At Tirmidzi disebutkan riwayat, Hisyam bin Hassan berkata:
“Mereka
menghitung jumlah manusia yang dibunuh oleh Al Hajjaj secara zhalim (dibunuh
dengan cara tidak diberi makan dan minum), maka jumlahnya mencapai sebanyak
120.000 orang manusia.” (Sunan At Tirmidzi, no. 2220. Dinilai hasan oleh At
Tirmidzi. Lihat juga Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 2/211)
Al
Ashma’i rahimahullah berkata:
“Di suatu
pagi, Sulaiman bin ‘Abdul Malik membebaskan 81,000 orang tawanan, setelah Al
Hajjaj (selepas kematiannya), penjara-penjara diperiksa lalu mereka dapati ada
33,000 orang yang belum dilaksanakan atas mereka pemutusan hukum dan tidak juga
penyaliban.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/156)
‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz rahimahullah menyebut namanya dengan sebutan “musuh Allah”. Kata
Al Hafizh Ibnu Katsir: Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al Ghassani
berkata, dari ayahnya, dari datuknya, dari ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau
berkata:
“Aku
tidak sedikitpun merasa iri hati (dengki) terhadap Al Hajjaj si musuh Allah
itu, melainkan terhadap sikapnya yang cinta kepada Al Qur’an dan sikap
pemurahnya terhadap ahlul Qur’an, serta ucapannya sebelum wafat, “Ya Allah
ampunilah aku, sesungguhnya manusia menyangka bahwa Engkau tidak bertindak.”
(Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/158)
Sampai-sampai
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz membuat permisalan yang menggambarkan betapa jahat dan
berpengaruhnya Al Hajjaj:
“Kalau
sekiranya setiap umat datang dengan para penjahatanya manakala kita pula datang
dengan membawa Al Hajjaj, niscaya kita akan mengalahkan semua penjahat
tersebut.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 6/267, 9/158)
Malah
terdapat perkataan sebagian salaf yang seakan-akan mengkafirkannya.
Ibnu
‘Asakir meriwayatkan perkataan Asy Sya’bi rahimahullah (Wafat: 104H):
“Al
Hajjaj beriman dengan kejahatan dan thaghut, serta kafir terhadap Allah Al
‘Adziim.” (Ibnu ‘Asakir, Tarikh dimasyq, 12/187. Al Bidayah wa An Nihayah,
9/157)
Imam
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata:
“Suatu
yang ajaib terhadap sahabat-sahabat kita dari ‘Iraq, mereka menamakan Al Hajjaj
sebagai orang beriman?!” (Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala’, 5/44. Al Bidayah
wa An Nihayah, 9/157)
Sebagian
Kejahatan dan Nukilan Kekejaman Al Hajjaj
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim:
‘Uqbah
bin Mukarram Al ‘Ammiy memberitahu kami, katanya Ya’qub iaitu Ibnu Ishaq Al
Hadhrami memberitahu kami, katanya Al Aswad bin Syaiban memberitahu kami, dari
Abu Naufal, katanya:
Aku
melihat (mayat) ‘Abdullah bin Az Zubair (dalam keadaan tergantung) di ‘Aqabah
Al Madinah (di Makkah), dan kaum Quraisy serta orang-orang lainnya pergi ke
arahnya, termasuklah ‘Abdullah bin ‘Umar, apabila beliau berdiri di hadapannya
(mayat Ibn Az Zubair) beliau mengucapkan:
“Wahai
Abu Khubaid (‘Abdullah bin Az Zubair), semoga keselamatan ke atas engkau,
semoga keselamatan ke atas engkau, semoga keselamatan ke atas engkau! Demi
Allah, aku telah melarang engkau dari perkara ini, Demi Allah, aku telah
melarang engkau dari perkara ini, Demi Allah, aku telah melarang engkau dari
perkara ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui seseorang yang selalu
berpuasa, selalu qiyam (bangun malam untuk beribadah), dan selalu menyambung
silaturrahim selain dari engkau. Demi Allah, engkau yang dikatakan
sejahat-jahat ummat, sebenarnya adalah sebaik-baiknya.”
‘Abdullah
bin ‘Umar pun berlalu pergi. Kata-kata Ibnu ‘Umar telah sampai kepada Al Hajjaj
lalu dia mengutus seseorang untuk menurunkan mayat ‘Abdullah bin Az Zubair,
kemudian mayat tersebut dicampakkan ke perkuburan Yahudi.
Kemudian
Al Hajjaj menghantar utusan kepada Asma’ Binti Abu Bakr agar Asma’ menemuinya,
tetapi Asma’ enggan. Utusan tersebut pulang dan kembali membawa pesan Al
Hajjaj:
“Engkau
mesti datang berjumpa dengan aku atau aku akan hantar seseorang yang akan
mengheret engkau sambil menarik rambutmu.”
Asma’
tetap juga enggan.
Katanya,
“Aku tidak akan berjumpa dengan engkau hinggalah engkau hantar seseorang yang
akan mengheret aku dengan rambutku.”
Al
Hajjaj yang mendengarnya (sebagaimana disampaikan oleh utusannya) pun
berkata, “Ambilkan alas kakiku”.
Lalu
utusannya mengambilkan alas kaki untuknya, dan Al Hajjaj pergi menuju kepada
Asma’ dalam keadaan marah, lalu berkata:
“Apa
pendapat engkau tentang apa yang aku lakukan terhadap si musuh Allah itu
(‘Abdullah bin Az Zubair)?”
Asma’
menjawab: “Aku lihat engkau telah menghancurkan kehidupan dunianya, manakala
dia pula telah menghancurkan kehidupan akhirat engkau. Aku dengar engkau
memanggilnya (sebagai), “Wahai anak Dzat An Nithaqain (pemilik dua tali
pinggang).” Sesungguhnya demi Allah, akulah Dzat An Nithaqain; tali pinggang
yang pertama aku gunakan untuk menghantar makanan Rasulullah dan Abu Bakr,
manakala tali pinggang kedua tidak dapat ditandingi oleh mana-mana wanita pun.
Rasulullah pernah memberitahu kami bahwa di Thaqif nanti ada seorang pendusta
dan seorang pemusnah, si pendusta itu kami telah mengenalinya, manakala si
pemusnah pula, aku tidak kenal yang lain melainkan engkau.”
Al Hajjaj
lalu bangkit beredar dan tidak membalas kata-kata Asma’. (Shahih Muslim, no.
2545)
Imam An
Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan: “Perkataan Asma’ mengenai si
Pendusta, “kami telah mengenalinya”, yang beliau maksudkan dengannya adalah Al
Mukhtar bin Abi ‘Ubaid Ats Tsaqafi, dia ini sangat teruk sifat pendustanya, dan
antara tuduhannya yang paling buruk ialah Jibril Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
datang kepadanya. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan si pendusta
adalah Al Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, manakala si pemusnah pula adalah Al Hajjaj
bin Yusuf.” (Syarah Shahih Muslim, 16/100)
Imam An
Nawawi juga mengatakan: “Dan mazhab Ahlul Haq (pengikut kebenaran) adalah
meyakini Ibnu Az Zubair itulah yang dizhalimi, manakala Al Hajjaj dan para
pengikutnya pula adalah khawarij (iaitu yang keluar memberontak) terhadap Ibn
Az Zubair.” (Syarah Shahih Muslim, 16/99)
Ini
karena Al Hajjaj-lah yang sengaja memerangi wilayah dan kekhilafahan ‘Abdullah
bin Az Zubair di Hijjaz, Madinah, dan Makkah.
Al Hafizh
Ibnu Katsir meriwayatkan perkataan Al Hajjaj:
“Demi
Allah, kalau aku memerintahkan kamu semua keluar melalui pintu ini, tetapi kamu
semua keluar melaui pintu yang lain, maka halallah darah kamu di sisi aku, dan
tidak aku temui seorang lelaki yang membaca (Al Qur’an) mengikut qiraat Ibnu
Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud) melainkan aku akan memancung kepalanya, dan
akan aku kikis bacaannya dari mushaf, walaupun dengan tulang rusuk babi.”
Selain
itu, Al Hajjaj pernah berkata di mimbar Wasith (di kota Wasith):
“‘Abdullah
bin Mas’ud adalah pemimpin golongan munafiq. Kalau aku menemuinya aku akan
basahkan muka bumi dengan darahnya.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/149)
Al Hafizh
Ibnu Katsir menjelaskan: “Dan ini termasuk kemelampauan Al Hajjaj, semoga Allah
memburukkannya, dan termasuk kelancangannya mengungkapkan perkataan yang buruk,
serta menumpahkan darah tanpa haq. Beliau dengki dengan qira’ah (bacaan) Ibnu
Mas’oud radhiyallahu ‘anhu karena menyelisihi qira’ah pada mushaf induk yang
dihimpunkan manusia pasa masa ‘Utsman.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/149)
Al Qa’qa’
bin Ash Shalt berkata: “Al Hajjaj pernah berkhuthbah lalu beliau mengatakan
dalam khuthbahnya, “Sesungguhnya Ibnu Az Zubair mengubah Kitab Allah.” (Al
Bidayah wa An Nihayah, 9/140)
Demikianlah
sifat kejamnya Al Hajjaj, sampai tiada adab dan hormat terhadap orang-orang
yang amat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, iaitu para
sahabatnya ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Demikian juga sikap beliau terhadap
para ulama selain sahabat.
Sampai-sampai
sebagian salaf mengatakan tentangnya: “(Seolah-olah) tidak ada satu pun dari
larangan Allah ‘Azza wa Jalla melainkan telah dilakukan oleh Al Hajjaj.”
(Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/1153)
Saat
Kematian Al Hajjaj
Atas
sebab kekejaman dan kekejian Al Hajjaj, kematian beliau dianggap sebagai khabar
gembira oleh sebagian salaf. Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H)
merakamkan: “Lebih dari seorang yang meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri)
ketika dikabarkan dengan berita gembira mengenai kematian Al Hajjaj, beliau
langsung melakukan sujud syukur kepada Allah Ta’ala yang mana sebelumnya beliau
bersembunyi, maka setelah itu beliau menonjolkan diri. Lalu beliau berdoa: “Ya
Allah, matikanlah dia dan hilangkanlah sunnahnya (kebiasaan-kebiasaannya) dari
diri kami.”
Hammad
bin Sulaiman berkata, “Apabila aku mengkhabarkan kepada Ibrahim An Nakha’i
tentang kematian Al Hajjaj, beliau pun menangis karena gembira.” (Ibnu Katsir,
Al Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Abu
Khaitsamah berkata: “Ziyad bin Ar-Rabi’ Al Haritsi mengatakan kepada para
penghuni penjara, “Al Hajjaj akan mati dalam sakitnya ini di malam sekian.”
Lalu
ketika tiba malam tersebut, tidak seorang pun penghuni penjara yang tidur
karena sangat gembira. Mereka duduk menunggu hingga mendengar berita
kematiannya. Iaitu pada malam 27 Ramadhan.”
Al Hafizh
Ibnu Katsir menambah: “Pendapat lain menyebutkan, hal tersebut berlaku pada
lima hari terakhir bulan Ramadhan. Pendapat lain lagi, ia berlaku pada bulan
Syawal di tahun tersebut. Umurnya ketika itu adalah 55 tahun, karena
kelahirannya adalah pada tahun Al Jama’ah (tahun di mana Al Hasan bin ‘Ali
menyerahkan kekhalifahan kepada Mua’wiyah – Pent.), tahun 40H. Pendapat lain
mengatakan setelah itu. Yang lain lagi mengatakan, setahun setelahnya.
Beliau
meninggal di Wasith, dan kuburannya diratakan serta disirami air padanya supaya
tidak dibongkar dan dibakar. Wallahu a’lam.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Al
Ashma’i berkata: “Yang menakjubkan tentang Al Hajjaj, adalah apa yang beliau
tinggalkan hanya 300 dirham.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Kata Al
Waqidi, “Bahwa Al Hajjaj meninggal dengan meninggalkan 300 dirham, sebuah
mushaf, sebilah pedanh, pelana, sekedup, dan seratus baju besi (armour) yang
diwakafkan.” (Tarikh Dimasyq, 12/191. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Syihab
bin Khirasy berkata:
“Al
Hajjaj mewasiatkan 900 perisai atau baju besi, 600 di antaranya adalah milik
orang-orang munafiq warga ‘Iraq yang mereka berperang dengannya, sedangkan 300
lagi adalah milik orang-orang Turki.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Al Hajjaj
Adalah Bencana Ke Atas Penduduk ‘Iraq
Syaikh Al
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Wafat: 728H) menyebutkan:
“Al Hasan
Al Bashri pernah berkata: “Sesungguhnya kemunculan Al Hajjaj adalah disebabkan
dari azab Allah, maka janganlah kamu melawan azab Allah dengan tangan-tangan
kamu. Akan tetapi wajib bagi kamu untuk tunduk dan memohon dengan merendah diri
karena sesungguhnya Allah telah berfirman (maksudnya):
“Dan
sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk
kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan
diri.” (Surah Al Mukminun, 23: 76)
Thalq bin
Habib berkata: “Lindungilah dirimu dari fitnah dengan ketaqwaan.” Maka
dikatakan kepadanya, “Simpulkanlah untuk kami apa itu ketaqwaan?” Beliau
berkata, “Iaitu engkau beramal dengan ketaatan kepada Allah dengan cahaya
(petunjuk) dari Allah dengan berharap rahmat Allah. Dan engkau meninggalkan
kemaksiatan kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan
azab Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Ad Dunya).” (Ibnu Taimiyyah,
Minhajus Sunnah An Nabawiyyah, 4/527-531 – Mu’asasah Al Qurthubah)
Demikian
jugalah yang diungkapkan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An
Nihayah: “Secara umum, bahwa Al Hajjaj adalah bencana yang ditimpakan ke atas
penduduk ‘Iraq karena dosa-dosa lalu mereka dan perbuatan khuruj mereka kepada
para pemimpin, menghinakan mereka, memaksiati mereka, menyelisihi mereka, dan
tidak menghargai mereka.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/151)
Al Hafizh
dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari jalan Ya’qub bin Sufyan (berkenaan apa yang
pernah berlaku ketika zaman pemerintahan ‘Umar): “Seorang lelaki datang kepada
‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu lalu memberitahunya bahwa warga ‘Iraq
melempari wakil pemimpin (gubernur) mereka, maka ‘Umar pun keluar (untuk
shalat) dalam keadaan marah, lalu beliau mengimami kami suatu shalat, lalu
beliau lupa di dalam shalatnya sehingga orang-orang (para makmum) mengatakan, “Subhanallah, Subhanallah…”
Setelah
salam, ‘Umar pun menghadap kepada para makmum lalu berkata, “Siapakah di sini
dari kalangan penduduk Syam?”
Lalu
berdirilah seorang lelaki, kemudian berdiri juga lelaki yang lainnya, kemudian
aku (perawi Ya’qub bin Sufyan) juga berdiri sebagai orang ketiga atau keempat.
Lalu ‘Umar berkata: “Wahai warga Syam, bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi
penduduk ‘Iraq. Karena Syaitan telah bertelur di tengah-tengah mereka dan
menebarkan anak-anaknya. Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyamarkan diri
mereka, maka samarkanlah atas mereka, dan segeralah ke atas mereka dengan anak
Tsaqif yang memimpin (berhukum) dengan hukum jahiliyyah. Tidak akan diterima
kebaikan dari orang baik mereka, dan tidak akan dimaafkan dari orang buruk
mereka.”
Kata Al
Hafizh Ibnu Katsir, “Kami juga telah meriwayatkan di dalam kitab Musnad ‘Umar bin Al Khaththab, dari
jalan Abu Azabah Al Himshi dari ‘Umar yang semisal dengannya.” (Al Bidayah wa
An Nihayah, 9/151-152)
‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata (berdoa):
“Ya
Allah, aku telah memberi mereka amanah tetapi mereka mengkhianatiku, aku telah
menasihati mereka tetapi mereka curang padaku. Maka kuasakanlah atas mereka
seorang pemuda Tsaqif yang angkuh lagi sombong, yang memakan kesejahteraannya,
yang memakai kulitnya, dan menerapkan hukum-hukum jahiliyyah atas mereka.”
Al Hasan
berkata, “Pada ketika itu Al Hajjaj belum lahir.” (Al-Bidayah wa An Nihayah,
9/152. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/169)
Diriwayatkan
juga oleh Mu’tamir bin Sulaiman, bahwa ‘Ali berkata: “Pemuda yang angkuh, Amiir
(pemimpin) dua kota yang memakai kulitnya dan memakan kesejahteraannya,
membunuhi para tokoh penduduknya, menimbulkan perpecahan yang banyak, banyak
menimbulkan kegelisahan, dan Allah menguasakannya ke atas kaumnya.” (Al Bidayah
wa An Nihayah, 9/152. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/169)
Sikap
Para Ulama Di Bawah Kekuasaan Al Hajjaj Sebagai Pemerintah
Zubair
bin ‘Adi berkata, kami mendatangi Anas bin Malik mengeluhkan perihal Al Hajjaj.
Anas pun menjawab: “Bersabarlah, karena tidaklah datang sebuah zaman kecuali
yang setelahnya akan lebih buruk sehingga kamu berjumpa dengan Rabb kamu. Aku
mendengarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Shahih Al Bukhari, no.
7068)
Imam Asy
Syafi’i rahimahullah (Wafat: 204H) berkata: “Ibnu ‘Umar (salah seorang sahabat
Nabi yang masih hidup) memencilkan diri di Mina pada hari-hari pertempuran
(peperangan) antara Ibnu Az Zubair dengan Al Hajjaj, dan beliau (Ibnu ‘Umar)
tetap shalat bersama (berjama’ah di belakang) Al Hajjaj.” (Al-Bidayah wa An
Nihayah, 9/140)
Imam Al
Bukhari rahimahullah (Wafat: 256H) meriwayatkan: Dari As Sahmi, “Aku mendatangi
Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan
menghina) Al Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau dan bukan
penguasa bagiku.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, no. 83)
Aba
Umamah tinggal di Syam, manakala As Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin di
Iraq ketika itu adalah Al Hajjaj.
Fenomena
kekejaman Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi dan penentangan terhadapnya banyak
dikaitkan dengan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu bab kewajiban
mentaati pemerintah (dalam hal yang bukan maksiat pada Allah). Maka dalam hal
ini, antaranya Imam An Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan:
“Mayoritas ulama Ahli Sunnah dari kalangan fuqaha’ (ahli fiqh), ahli
hadits, dan ahli kalam menyatakan bahwa pemimpin tidak dilengsertkan
(atau dijatuhkan kepimpinannya) atas sebab kefasikannya, kezhalimannya, dan
perbuatannya yang merampas hak-hak umat Islam, dan tidak boleh khuruj (keluar
dari ketaatan) kepadanya. Tetapi umat Islam wajib untuk menasihati dan
menundukkan hatinya dengan hadits-hadits (yang berbentuk ancaman) berkaitan
perkara tersebut.
Al-Qadhi
berkata, “Abu Bakar bin Mujahid telah menyatakan adanya ijma’ atas perkara ini,
sebagian ulama telah membantah pernyataan tersebut dengan apa yang dilakukan
oleh Al Hasan dan Ibnu Az Zubair, serta penduduk Madinah terhadap Bani Umayyah.
Juga pertempuran dua kelompok besar dari kalangan tabi’in dan generasi awal
dari umat ini terhadap Al Hajjaj bin Yusuf, bukan karena sekadar kefasikan,
akan tetapi ketika dia telah mengubah sebagian syari’at dan menampakkan
kekafiran.” Al Qadhi berkata lagi, “Perbedaan ini timbul pada awalnya, kemudian
terjadi ijma’ (kesepakatan) yang melarang memberontak kepada pemerintah.”
Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 12/229)
Sikap
Ulama Di Luar Kekuasaan Al Hajjaj
Al Hafizh
Ibnu Katsir mencatat, “Berkata At Tsauri dari Muhammad bin Al Munkadir dari
Jabir bahwa dia masuk ke kawasan Al Hajjaj tanpa memberi salam kepadanya dan
tidak pula shalat di belakangnya (sebagai makmum).” (Al-Bidayah wa An Nihayah,
9/140)
Jasa dan
Ungkapan Nasihat Al Hajjaj
Imam Asy
Sya’bi berkata: “Aku mendengar Al Hajjaj berkata dalam perbicaraannya yang
tidak pernah diungkapkan oleh seorangpun sebelumnya. Beliau mengatakan:
“‘Amma
ba’d, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan kefanaan (sifat tidak kekal)
bagi dunia ini, dan menetapkan keabadian bagi akhirat. Maka tidak ada keabadian
bagi yang telah ditetapkan kefanaan baginya. Oleh itu, janganlah keadaan dunia
ini memperdayakan kalian dari keghaiban akhirat, dan redamlah panjangnya
angan-angan dengan dekatnya ajal.” (Ibn ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/142. Al
Bidayah wa An Nihayah, 9/143)
Al Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) berkata: “Al-Haitsam bin ‘Adi dari Ibn
‘Ayyasy (beliau berkata): ‘Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan pernah mengutus
surat kepada Al Hajjaj, “Kirimkan kepadaku kepala Aslam bin ‘Abdul Bakri.”
Setelah
surat tersebut sampai kepadanya, Al Hajjaj pun menghadirkan Aslam kepadanya
lalu Aslam pun berkata, “Wahai Amir (pemimpin), engkaulah yang menyaksikan,
sedangkan Amirul Mukminin tidak menyaksikan. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti supaya kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu.” (Surah Al Hujuraat, 49: 6)
Apa yang
sampai kepadanya tentang diriku adalah bathil. Dan sesungguhnya aku menanggung
24 orang wanita, mereka tidak memiliki pendapatan selain dariku, dan mereka
sekarang ada di pintu.”
Maka Al
Hajjaj pun memerintahkan agar mereka dibawa masuk. Setelah mereka dihadirkan,
salah seorang dari mereka berkata, “Aku adalah bibi dari pihak ayahnya.”
Yang lain
berkata, “Aku bibi dari pihak ibunya.”
Yang lain
berkata, “Aku saudara (adik-beradik) perempuannya.”
Yang lain
pula berkata, “Aku anak perempuannya.”
Dan yang
lain berkata pula, “Aku isterinya.”
Lalu
seorang anak perempuan maju ke depan, ia berumur antara 8 hingga 10 tahun, maka
Al Hajjaj pun berkata, “Siapa engkau?”
Anak
perempuan tersebut berkata, “Aku anak perempuannya.”
Kemudian
anak perempuan itu berkata, “Semoga Allah memperbaiki Amir (pemimpin).” Lalu ia
tunduk dan berkata:
“Wahai
Hajjaj, tidakkah engkau saksikan kedudukan anak-anaknya, bibi-bibinya yang
semuanya memerlukannya setiap malam? Wahai Al Hajjaj, berapa banyak yang telah
engkau bunuh bila engkau membunuhnya? Delapan, sepuluh, dua, dan empat? Wahai
Al Hajjaj, engkau boleh berlaku baik terhadap kami dengan memberi nikmat, atau
engkau bunuh saja kami bersamanya.”
Maka Al
Hajjaj pun menangis, dan beliau berkata:
“Demi
Allah, aku tidak membantu untuk menyusahkan kalian dan tidak akan menambahkan
kelemahan kepada kalian.”
Kemudian Al
Hajjaj pun mengutus surat kepada ‘Abdul Malik (khalifah) tentang apa yang
dikatakan oleh lelaki tersebut dan apa yang dikatakan oleh anak perempuannya.
Lalu ‘Abdul Malik pun mengutus surat kepada Al Hajjaj yang memerintahkannya
supaya membebaskan lelaki tersebut dan menyambung hubungan baik dengannya,
serta berbuat baik kepada anak perempuan tersebut dan mengawalnya setiap
waktu.” (Ibn ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/145-146. Al Bidayah wa An Nihayah,
9/144)
Al Hafizh
Ibnu Katsir berkata: “Dikatakan bahwa Al Hajjaj pada suatu hari berkhuthbah
lalu berkata:
“Wahai
manusia, bersabar menahan diri terhadap larangan-larangan Allah adalah lebih
mudah berbanding bersabar terhadap azab Allah.”
Lalu
seorang lelaki berdiri kepadanya lalu berkata, “Celaka engkau wahai Hajjaj!
Betapa buruknya wajah engkau dan betapa sedikitnya rasa malumu. Engkau
melakukan apa yang engkau lakukan (dari berbagai jenis keburukan – pent.) lalu
sekarang engkau mengatakan perkataan ini? Engkau telah rugi, dan sia-sialah
usaha engkau.”
Maka Al Hajjaj
mengatakan kepada pengawalnya, “Tangkap dia.”
Setelah
dia selesai dari khuthbahnya, dia pun berkata kepada lelaki tersebut, “Apa yang
membuat engkau berani terhadapku?”
Lelaki
tersebut pun menjawab, “Celaka engkau, wahai Hajjaj, engkau berani terhadap
Allah, lalu kenapa aku tidak berani terhadap engkau? Siapakah engkau hingga aku
tidak berani terhadapmu, sementara engkau berani terhadap Allah, Rabb sekalian
alam?”
Al Hajjaj
pun berkata, “Bebaskan dia.”
Lalu ia
pun dibebaskan.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/144-145
0 komentar:
Posting Komentar